Minggu, 31 Oktober 2010

TEOLOGI PIERRE TEILHARD DE CHARDIN

Jenis: Kajian Ilmiah Pemikiran

TEOLOGI PIERRE TEILHARD DE CHARDIN

(Pemikiran Modern Hubungan Agama dengan Teori Evolusi)

Oleh: Nanang Asmara

I. Riwayat Hidup.

Marie-Joseph-Pierre Teilhard de Chardin lahir di daerah pedalaman Perancis pada tahun 1881. Ia belajar di sekolah Yesuit lalu masuk ordo tersebut. Ia menjadi paleontology professional (peneliti binatang dan tumbuh-tumbuhan yang telah punah) sehingga mengakibatkan perhatiannya tertuju pada asal-usul manusia. Ia pun terlibat dalam penemuan Manusia Peking pada tahun 1929.

II. Pemikiran Teologinya.

Teilhard de Chardin tertarik pada hubungan agama Kristen dengan pemikiran evolusi. Teori Evolusi Darwin yang diuraikan dalam karyanya tahun 1859, Asal-usul Jenis-jenis dan pada tahun 1871 Keturunan Manusia memberi para teolog tiga pilihan dasar. Pertama, mereka dapat menolak teorinya, pilihan yang hanya dipilih oleh sejumlah kecil saja seperti juga sekarang ini. Kedua, mereka dapat berusaha menyesuaikan ilmu evolusi dengan teologi Kristen tradisioanal. Ini menjadi pilihan mayoritas, walaupun ada yang lebih mempertahankan ortodoksi, ada juga yang kurang mempertahankannya. Ketiga, mereka dapat menafsirkan kembali teologi Kristen menurut teori evolusi. Pandangan Teilhard de Chardin termasuk penafsiran kembali radikal yang paling terkenal. Teologinya mirip dengan Teologi Proses pihak Protestan.

Beberapa pandangan Teilhard de Chardin tidak disenangi atasannya dari ordo Yesuit. Ia terus- menerus dilarang menerbitkan tulisan-tulisan teologis dan filsafatnya, dan ia patuh. Ia juga tidak diijinkan menjadi guru besar di College de France, suatu kehormatan besar. Tetapi pada waktu meninggalnya di tahun 1955 teman-temannya mulai menerbitkan karyanya. Yang terkenal adalah Gejala Manusia, Lingkungan Ilahi dan Masa Depan Manusia, yang diterbitkan dalam bahasa Perancis dari tahun 1955 sampai 1959. Pada masa Konsili Vatican Kedua, ketika terdapat sikap terbuka yang baru terhadap pemikiran modern, de Chardin menjadi sangat populer di kalangan Katolik-Roma. Akan tetapi popularitasnya kemudian memudar. Pemikirannya juga diterima positif oleh beberapa pemikir non Kristen. Pemikir agnostic Julian Huxley menyumbangkan Kata Pendahuluan yang simpatik pada terjemahan Inggris dari bukunya Gejala Manusia. De Chardin melihat evolusi sebagai hukum keberadaan semesta alam, begitu juga pandangan-pandangannya mengenai Kekristenan disesuaikan. Ini menghasilkan penafsiran kembali yang menarik dari banyak tema Kristen, sebagai berikut:

1) Penciptaan dilihat sebagai suatu proses evolusi. Dosa diinterpretasikan kembali sebagai ketidaksempurnaan yang tak terelakkan yang selalu menyertai proses evolusi. Evolusi dan kesempurnaan tidak cocok, sama seperti ide lingkaran berbentuk segi empat tidak cocok. Kejahatan harus dilihat sebagai hasil sampingan dari evolusi. Seperti diamati tepat sekali oleh Huxley, “para teolog mungkin akan menganggap bahwa pembahasannya tentang dosa dan penderitaan tidak memadai atau sekurang-kurangnya tidak ortodoks.”

2) De Chardin tidak menolak pandangan tradisional tentang Kristus yang historis sebagai Anak Allah yang menjelma. Tetapi ia lebih menitikberatkan Kristus yang kosmis. Kristus seutuhnya atau tubuh Kristus yang mistik berkembang di dalam kerangka evolusi manusia. Penebusan harus dilihat sebagai proses evolusi ini.

3) Sejarah manusia berkembang ke arah klimaks kalau semua disempurnakan dalam Kristus. Ini oleh de Chardin disebut dengan istilah “titik Omega.”

4) Semuanya ini meunjukkan konsep baru tentang Allah sebagaimana dalam Teologi Proses. Allah harus dilihat bukan sebagai tak berubah dan melebihi batas-batas dunia, tetapi aktif dan terlibat di dalam proses evolusi, bahkan tidak terlepas darinya.

Teilhard de Chardin berusaha keras menghubungkan kekristenan dengan pemikiran evolusi. Cita-citanya dapat dibandingkan dengan usaha Agustinus yang menghubungkan Kekristenan dengan Neo-Platonisme atau dengan usaha Thomas dari Aquino dengan ajaran Aristoteles. Akan tetapi de Chardin memberi tempat yang terlalu besar pada pemikiran evolusioner, sehingga unsur Kristen terdesak. Ia sendiri melihat pemikirannya sebagai percobaan dan dimaksudkan untuk memperluas pandangan, bukan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan secara tuntas. Boleh jadi ia dapat disamakan dengan Origines, pelopor besar dan pemikir yang gagasan-gagasannya tidak dapat diterima begitu saja (Lane, 2005: 251-253).

IV. Analisa Pemikiran Teologi Pierre Teilhard de Chardin

Berdasarkan penjelasan di atas tampaklah bahwa Teilhard de Chardin memfokuskan pemikiran teologinya di bidang Teologi Dogma, khususnya bidang Antropologi Teologis, yaitu membahas tentang siapakah manusia menurut rencana Allah Pencipta. Dia juga membahas di cabang Kristologi, yaitu membahas apa dan siapa Yesus Kristus. Dia menghubungkan kekristenan dengan teori evolusi. Dia memberikan penafsiran baru teologi Kristen menurut teori evolusi, misalnya tentang penciptaan, dosa, kristus, sejarah manusia, dan Allah.

Senin, 25 Oktober 2010

Agama, Pendidikan, dan Moralitas Bangsa dalam Perspektif Cita-cita Pancasila

Jenis : Tulisan Populer (Artikel Media)

Agama, Pendidikan, dan Moralitas Bangsa dalam Perspektif Cita-cita Pancasila

Oleh: Nanang Asmara

Beberapa dekade terakir ini, bangsa Indonesia sedang dilanda krisis moralitas yang berakibat pada stabilitas politik, keamanan dan juga ekonomi. Kasus-kasus yang terjadi baik tindak kejahatan Pidana (korupsi), tindak kejahatan kriminal (perampokan dan juga pencurian), hingga tindak kejahatan yang mebahayakan stabilitas keamanan negara seperti terorisme dan pertikaian antar kelompok masyarakat menjadi hal yang paling memprihatinkan dan mengkawatirkan bagi kelangsungan, keamanan, dan ketertiban negara.

Kasus terakir yang terjadi antara lain pertikaian massa yang terjadi di Jakarta dan kerusuhan Tarakan (Solopos, 30/09/10) dan juga teror bom sepeda (Solopos, 01/10/10) di Bekasi menjadi fakta yang miris untuk dibicarakan disebuah negara kesatuan yang dulunya dikenal ramah, sopan, dan juga damai. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah sudah tidak ada lagi falsafah hidup bangsa Indonesia untuk hidup dalam kesatuan, kerukunan, dan juga perdamaian?.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang paling kompleks jika dibandingkan dengan bangsa lain dalam hal budaya, suku, dan juga agama. Sehingga sangat mungkin terjadi gesekan kepentingan dan juga budaya, oleh karena itu falsafah hidup bangsa Indonesia harus mampu mengakomodir segala kepentingan demi satu tujuan yaitu terwujudnya negara Kesatuan Republik Indonesia yang damai dan sejahtera. Falsafah tersebut telah dibangun dan diajarkan oleh pendahulu kita yang dikenal dengan pancasila, dan 1 oktober kemarin adalah hari kesaktian pancasila.

Menilik kembali sejarah bangsa Indonesia hingga menajdi negara kesatuan di bawah satu bendera dan juga falsafah hidup Pancasila, Indonesia mampu menyatukan berbagai ragam suku, agama, dan juga berbagai kepentingan kelmpok dengan sikap saling toleransi dan tidak menganggu kepentingan kelompok lain demi menjaga negara kesatuan dan juga keamanan. Meskipun sebelumnya diawali dengan berbagai konflik dan pertikaian kepentingan seperti DI/TII, G30S, dan pemberontakan-pemberontakan yang lain. Saat itu pancasila mampu menjadi perekat kepantingan dari berbagai suku, budaya dan agama dari Sabang sampai Meraoke.

Momentum 1 oktober (tepat beberapa hari lalu) sebagai hari kesaktian pancasila, mustinya seluruh warga negara Indonesia kembali merefleksikan akan fungsi dan filosofi pancasila sebagai sebuah falsafah negara kesatuan, yang menekankan pada sikap toleransi, kerukunan, dan juga keamana bersama.

Dalam pancasila, berbagai kepentingan telah terakomodir seperti sila pertama manyatakan tentang ke-Tuhanan yang maha Esa. Penjabaran dari pemaknaan sila pertama ini adalah negara Indonesia adalah negara yang beragama namun bukan negara agama, sehingga agama-agama yang ada di Indonesia dilindungi karena menjadi dasar dari bangunan negara dan moralitas bangsa. Sedangkan sila kedua sampai dengan sila keempat adalah banguanan yang harus dibangun dalam sitem sosial masyarakat. Sehingga agama sebagai pondasi dalam bernegara (dalam sila ke-Tuhanan yang maha Esa) untuk membangun sitem sosial yang ada di sila-sila berikutnya yakni, ”kemanusiaan yang adil dan beradap, persatuan indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”.

Dari pemaknaan secara sruktural pancasila diatas dapat diartikan bahwa agama-agama di Idonesia memiliki tugas dan peran penting guna membagun masyarakat yang sejahtera, adil dan beradap untuk mewujudkan negara kesatuan lewat pemeluk agama-agama yang saling bangun-membangun untuk mewujudkan keadilan dan kesejahteraan di dalam masyarakat yang beradap.

Kaitanya dengan moralitas, agama dan pendidikan mejadi faktor terpenting dalam membagun moral dan karakte bangsa. Pendidikan yang terintegratif antara agama (sebagai bangunan moral dan pondasi pancasila) dan juga ilmu pengetahuan serta yang terpenting juga adalah filosofi bernegara dalam Kesatuan Repuplik Indonesia lewat falsafah pancasila akan membentuk bangsa yang berkarakter dan beradap demi cita-cita bersama. Oleh karena itu perlu sekiranya untuk menilik kembali kurikulum pendidikan dan juga khotbah-khotbah keagamaan yang kedepanya diharapkan tidak telepas dari ruh kesatuan bernegara dalam bingkai Pancasila.

Melihat realitas yang ada, pemerintah mustinya segera bergerak cepat mengatasi konflik-konflik yang terjadi dengan kembali menanamkan falsafah hidup bangsa indonesia baik secara kultural dan struktural namun dengan tidak menciderai demokrasi dan hak asasi manusia. Karena jika tidak bangsa Indonesia akan kembali kepada sejarah pertikaian dan konflik antar golongan yang berakibat pada semakin tidak stabilnya kondisi keamanan yang berdampak pada sisi pembangunan.

Sejarah seharusnya berkembang. Saat pancasila pernah menjadi falsafah ”ampuh” untuk mempersatukan bangsa maka hendaknya pancasila disuburkan dan disemaikan lewat pendidikan dan keagamaan. Sebab pancasila tidak menciderai kepantingan golongan apapun tapi justru melindungi kepentingan dari setiap golongan. Mudah mudahan kedepan kita menjadi bangsa yang lebih berkembang, santun, rukun dan beradap dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Rabu, 29 September 2010

Studi Pemikiran Hassan Hanafi (Teori Rekonstruksi Teologi)

PEMIKIRAN ISLAM KONTEMPORER:

STUDI PEMIKIRAN HASSAN HANAFI

(Teori Islam Kiri dan Rekontruksi Teologi Islam)

Oleh: Nanang Asmara

A. PENDAHULUAN

Hasan Hanafi bukanlah nama yang asing di telinga akademis masyarakat Indonesia, terutama yang genar membaca karya tentang kebangkitan Islam. Dalam pemikirannya ia dapat disejajarkan dengan tokoh pemikir Islam yang lain seperti Fazlur Rahaman, Mohammad Arkoun, Ali Syariati, M. Sahrur, Ismail Raji Al Faruqi, Sayyed Hossein Nasr, Salman Rushdie, Ali Asghar E. dan lain-lain. Hasan Hanafi merupakan tokoh yang berbeda dengan pemikiran Islam yang lain pemikirannya lebih mengedepankan al turats wa tajdid (tradisi dan pembaharuan). Hasan Hanafi dalam forum internasional juga dikenal dengan “Kiri Islam”.

Dalam membaca pemikiran Hasan Hanafi yang terasa adalah adanya gugatan terhadap tradisi lama Islam. Gugatan tersebut bukan hanya terhadap tradisi paradigma klasik dalam ushuluddin tetapi juga terhadap terdisi dan konvensi teknis dikalangan muttakalimun dalam pembahan ilmu ini. Bahwa menurut Hasan Hanafi bahwa ulma klasik dalam mukadimahnya telah memperlihatkan pembahasan keimanan pada pendahuluan hingga seakan-akan merupakan kesimpulan. Sedangkan pembahasan antara mukadimah dan kesimpulan merupakan sesuatu yang tidak berarti. Sebenarya ungkapan muatan keimanan sering mengabaikan argumentasi.

Riwayat Hidup

Hassan Hanafi lahir di Kairo, 13 Februari 1935, dari keluarga musisi. Pendidikannya diawali di pendidikan dasar, tamat tahun 1948, kemudian di Madrasah Tsanawiyah ‘Khalil Agha’, Kairo, selesai 1952. Selama di Tsanawaiyah ini, Hanafi sudah aktif mengikuti diskusi-diskusi kelompok Ikhwanul Muslimin, sehingga tahu tentang pemikiran yang dikembangkan dan aktivitas-aktivitas sosial yang dilakukan. Selain itu, ia juga mempelajari pemikiran Sayyid Quthub tentang keadilan sosial dan keislaman.

Tahun 1952 itu juga, setamat Tsanawiyah, Hanafi melanjutkan studi di Departemen Filsafat Universitas Kairo, selesai tahun 1956 dengan menyandang gelar sarjana muda, terus ke Universitas Sorbone, Prancis.5 Pada tahun 1966, ia berhasil menyelesaikan program Master dan Doktornya sekaligus dengan tesis ‘Les Methodes d’Exegeses: Essei sur La Science des.

Beberapa Karya Hasan Hanafi

Sebagaimana dalam bukunya yang telah diterbitkan oleh paramadina Oksidentalisme; Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat yang dalam judul aslinya Muqadimah Fi Ilm Al Istighrab. Dalam karya tersebut ia mgajak kepada pembacanya berjihad melawan barat, tepatnya berteologi untu kepentingan pembebasan. Jika dilihat dari sprektur teoritis-filosofis watak pemikiran Hasan Hanafi kiri revolusioner. Sebagai seorang yang memiliki sense of reality yang kuat, Hasan Hanafi memiliki pandangan sangat empiris atau membumi.

Hasan Hanafi juga telah menerbitkan sebuah karya monumental dengan judul Min al Aqidah ila ats-tsawrah. Buku tersebut telah diterjemahkan oleh paramadina dengan judul Dari Akidah Menuju Revolusi. Selain itu juga Al Yasar Al Islami (Islam Kiri).


B. POKOK-POKOK PIKIRAN

a. Kritik Terhadap Teologi Tradisional

Dalam Gagasanya tentang rekontruksi teologi tradisional, Hasan Hanafi menegaskan perlunya mengubah orientasi perangkat konseptual sistem kepercayaan (teologi) sesuai dengan perubahan konteks politik yang terjadi. Teolog tradisional menurut hanafi lahir dari konteks sejarah ketika inti Islam sistem kepercayaan, yakni transendensi Tuhan, sementara konteks sosial politik saat ini sudah berubah. Islam mengalami kekalahan di berbagai medan pertempuran dalam periode kolonialisasi. Oleh karena itu kerangka konseptual lama harus di ubah karena berasal dari kebudayaan klasik, harus diubah menjadi konseptual baru yang berasal dari kebudayaan modrn.

Selanjutnya, hanafi memandang teologi bukanlah ilmu murni yang hadir dari kehampaan sejarah, melainkan merefleksikan konflik-konflik sosial politik. Oleh karena itu kritik kepada teologi merupakan hal yang sah dan dibenarkan. Menurut hanafi, Teologi bukanlah Ilmu tentang Tuhan (seperti arti secara epistimologi dari kata Theose dan logos) melainkan theology adalah ilmu tentang kata (kalam) Tuhan, Karena Tuhan itu tidak tunduk kepada Ilmu. Tuhan mengungkapkan diri dalam sabdanya yang berupa wahyu.

Hanafi ingin meletakan teologi tradisional Islam pada tempat yang sebenarnya, yakni bukan pada ilmu ketuhanan yang suci yang tidak boleh dipersoalkan lagi dan harus diterima begitu saja. Namun teologi adalah ilmu kemanusiyaan yang terbuka untuk diadakan verifikasi dan falsifikasi baik secara historis untuk kontekstualisasi ajaran Islam. Pemikiran ini juga tidak jauh berbeda dengan teolgi pembebasan yang terjadi di Kristen.

Secara praksis, teologi tradisional menurut hasan hanafi gagal menjadi idiologi yang fugsional bagi kehidupan nyata masyarakat muslim dikarenakan oleh para sikap teolog yang tidak mengaitkan teologi dengan kesadaan murni dan nilai-nilai perbuatan manusia.

b. Rekonstruksi Teologi

Melihat kegagalan teologi tradisional, hanafi mewacanakan rekonstruksi teologi Islam agar teologi Islama benar-benar menjadi Ilmu yang bermanfaat bagi manusia dan umat masa kini. Yaitu dengan melakukan rekonstruksi dan revisi , serta membangun kembali epistimologi lama menju epistimologi yang baru. Tujuan pokok dari rekonstruksi teologi adalah agar menjadikan teologi agama tidak sekedar dogma-dogma yang kosong, melainkan menjelma sebagai ilmu tentang perjuagan sosial, yang menjadikan keimanan-keimanan tradisional memiliki fungsi secara aktua sebagai landasan etnik dan motivasi bagi manusia.

Menurut Hasan hanafi, untuk melakukan rekonstruksi teologi sekurang kurangnya dilator belakangi oleh tiga hal, sebagai berikut:

Pertama, kebutuhan akan adanya sebuah idiologi yang jelas di tengah-tengah pertarungan global antara berbagai Idiologi.

Kedua, pentingnya teologi baru ini bukan semata pada sisi teoritisnya, melainkan juga terletak kepada kepentingan praktis untuk secara nyata mewujudkan idiologi sebagai gerakan dalam sejarah, salah satu kepentingan praksis idiologi Islam (dalam teologi) adalah memecahkan kemiskinan dan keterbelakangan di negara-negara muslim.

Ketiga, kepentingan teologi yang bersifat praksis, yaitu secara nyata diwujudkan dalam realitas melalui realisasi tauhid dalam dunia Islam.

Menurut hasan Hanafi, Rekonstruksi teologi merupakan salah satu cara yang harus di tempuh jika mengharapkan teologi dapat memberikan sumbangan konkrit bagi kehidupan dan peradaban manusia. Oleh karena itu perlu menjadikan teologi sebagai wacana tentang kemanusiaan, baik secara eksistensia, kognitif, naupun kesejahteraan.

Selanjutnya Hanafi menawarkan dua hal untuk memperoleh kesempurnaan teori ilmu dalam teologi Islam, yaitu analisa bahasa dan analisa realitas.


C. KESIMPULAN

Hasan hanafi adalah pembaharu dalam pemikiran Islam, pokok pikiranya terletak pada bagaimana Islam dapat teraktualisasikan dalam konteks dan kehidupan yang nyata terutama dapat mentranformasikan umat islam dari keterbelakangan kearah kemajuan. Oleh kerena itu hasan hanafi melakukan kritik terhadap teologi Islam tradisional yang di nilai olehnya telah gagal dalam sisi toritis dan praktis.

Dari sisi teoritis, teologis islam tradisional gagal dalam mendapatkan pembuktian ilmiah dan filososis. Sedangkan dari sisi praksisnya gagal karena hanya menciptakan apatisme dan negativism terhadap perkembangan dan kemajuan zaman sehigga menjadikan umat islam tertinggal jauh.

Oleh karena itu hasan hanafi menawarkan rekonstruksi teologi islam agar islam menjadi agama yang tranformatif dan memiliki manfaat praksis bagi peradaban manusia.

DAFATAR PUSTAKA

Saleh, khoiruddin. 2004. Wacana Baru Filsafat. Pustaka Pelajar: Jogjakarta

Hanafi, hasan. 1996. Dari Akidah Menuju Revolusi. Paramadiana: Jakarta

Hanafi, hasan. 1996. Oksidentalisme; Sikap kita terhadap Tradisi Barat. Paramadiana: Jakarta

Hanafi, Hassan. 1999. Islam Kiri. Paramadina. Jakarta

Hasan, Ridwan ahmad. 1997. Pemikiran Hassan Hanafi
studi historis kritis gagasan reaktualisasi tradisi keilmuan.
IAIN Sunan Gunung Jati: Bandung